(1) Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan
(sekalian makhluk), (2) Ia menciptakan manusia dari segumpal darah; (3)
Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, (4) Yang mengajar manusia melalui pena
dan tulisan, (5) Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. Al-‘Alaq, 1-5)
Stimulan yang paling ampuh terdapat dalam Al Quran, sumber pedoman
bagi kita umat Islam, yaitu Iqra! (bacalah!). Betapa pentingnya perintah
ini, sehingga wahyu yang diterima oleh Rasulullah pertama kali pun agar
diserukan kepada seluruh umat manusia
adalah membaca. Banyak juga pencerahan-pencerahan terkait membaca, diantaranya; membaca membuka jendela
dunia. Ungkapan lainnya dari Hazel Rochman; “membaca membuat kita semua menjadi
imigran, Ia membawa kita jauh dari rumah, tapi lebih penting lagi ia menemukan
rumah bagi kita di mana saja.” Benar!!! satu lembar buku yang dibaca setiap
hari akan melahirkan begitu banyak pengetahuan yang tidak pernah kita bayangkan.
Banyak tahapan proses yang harus dilalui oleh setiap individu
hingga mencapai kemampuan untuk memahami bacaan yang dibaca. Bahkan memerlukan
waktu yang lebih lama lagi untuk mengaplikasikan apa yang dibaca. Untuk
mencapai hal ini, pemerintah mencanangkan 8 September sebagai hari Aksara
disamping penetapan program wajib belajar 9 tahun. Sejak tahun 2005, program
ini telah menjadi perhatian guna memberantas rakyat yang masih buta huruf.
Memang objek dari kegiatan fungsional ini diproritaskan untuk yang berusia 17
hingga 30 tahun dengan karakteristik; kemampuan nalar dan motivasi untuk
belajar yang masih rendah, kesibukan yang tinggi sehingga tidak memungkinkan
untuk mengikuti pendidikan dengan jadwal yang ketat, dan ada keinginan untuk
perbaikan dirinya dengan mengikuti kegiatan ini secara suka rela.
Kilas Balik Perjalanan
Tepat pada perayaan Hari Aksara Internasional ke 50 di Subulussalam
2016 lalu, 2017 ini diharapkan seluruh masyarakat melek huruf. UNESCO
(Organisasi PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan)
mendefinisikan melek aksara sebagai “kemampuan untuk mengidentifikasi,
mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan, dan mengolah isi dari
rangkaian teks yang terdapat pada bahan cetak dan tulisan yang berkaian dengan berbagai
situasi.” Pada tahun 2010 terdapat 95.21 % penduduk Aceh yang berusia 15-59
tahun sudah melek huruf. 4 tahun kemudian, tahun 2014, peningkatan rakyat yang
melek huruf menjadi 96.3 %. Jika pada 2014, 2.5 % warga Aceh buta aksara, pada
2017 hanya 1.75 %. Ini menunjukkan ada penurunan yang signifikan terhadap
jumlah buta aksara di Aceh dibanding tahun sebelumnya (Antara Aceh, 10 November
2015).
Hal ini berbanding terbalik dengan fenomena melek huruf Alquran di
Aceh. Terungkapnya 82 % mahasiswa baru
Universitas Syiah Kuala tak bisa baca Quran (Serambi, 28 Juli 2015). Hal ini
sangat memprihatinkan di bumi seuramoe mekkah ini. 99.99 % penduduknya notabene
beragama islam dan Al Quran lah sebagai tuntutan dan acuan hidup umat manusia
yang beragamakan islam. Bahkan, dengan budaya
“jak beut atau jak meudagang” di Aceh yang sudah dibiasakan sejak dahulu
seyogyanya kemerosotan ini bisa dihindari. Namun, kenyataannya, kebiasaan yang
mendarah daging sejak dari nenek-kakek terdahulu hingga sekarang untuk menuntut
ilmu akhirat, dimana dalam kegiatan ini ada satu orang ‘alim (lebih tahu), yang
sering dipanggil dengan teungku (guru) yang membaca kitab sesuai
tingkatan pemahaman muridnya pun tidak mampu menggugah naluri beberapa generasi
tentang betapa pentingnya pendidikan.
Terlepas dari itu semua, kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran
pun harus dijadikan pertimbangan. Hak anak untuk bermain jangan sampai
terabaikan hanya karena obsesi orang tua untuk mencerdaskkan anak sejak dini. Sehingga
usia anak belum 6 tahun sudah mulai diwajibkan untuk bisa baca dan tulis.
Kesiapan anak di bangku sekolah dasar pun dijadikan alasan. Esensinya, bukan
kemampuan baca tulis yang harus dijejali kepada anak. Namun, sebelum mulai
menempuh pendidikan formal di sekolah dasar, hendaknya orang tua memastikan
anaknya mempunyai kemampuan sosial atau interpersonal dan kepercayaan diri yang
tinggi; bermain dengan teman sebayanya, menjalin komunikasi yang bagus, dan berani
menyampaikan pikiran-pikiran dan ide-idenya
sebagai modal awal untuk menempuh pembelajaran yang sukses di masa depan
(Tansey: 2008).
Prospek ke Depan
Menjadi tanggung
jawab kita bersama untuk memastikan generasi saat ini dan masa depan siap untuk
menghadapi tantangan global. Perbaikan di tingkat sosial dan ekonomi Aceh ini
pun akan ikut berkembang jika pendidikannya berkualitas. Pemberantasan buta
huruf hingga mencapai titik nihil harus digalakkan. Bukan hanya pemerintah saja
dengan program wajib belajar 9 tahun-nya, instansi-instansi pendidikan pun
harus bekerja sama giatnya. Calon-calon sarjana, seperti mahasiswa sebagai agent
of change (agen perubahan) yang pada titik akhir sebelum menyelesaikan
pendidikan sarjananya pun bisa ikut membantu. Melalui program pengabdian masyarakat
atau lebih dikenal dengan sebutan KKN (Kelompok Kerja Nyata), para mahasiswa bisa
turun ke gampóng-gampóng untuk mengabdi
kepada masyarakat dengan membina sekolah-sekolah tenda. Dalam konsep sekolah
tenda ini, keberlanjutan dan konsisten adalah kunci keberhasilannya. Setelah
gelombang KKN pertama selesai, gelombang selanjutnya pun semestinya melanjutkan
program kerja sebelumnya. Sehingga, tidak harus selalu memulai dari nol. Jangan seperti kebiasaan sekarang ini, begitu
selesai memenuhi kredit semester, selesai pula programnya, sehingga tidak ada
konsistensi dan keberlanjutan. Kenapa harus memulai dari nol, jika bisa dilanjutkan
dengan memulai dari angka satu???
Kalahnya pamor
buku dibanding gadget di tengah anak pun mejadi tantangan. Mahalnya harga buku??
Mudahnya akses internet??? Repotnya menjinjing buku dibanding gadget???. Itu
sekelumit pertanyaan retoris, namun secara tidak sadar menjadi kesepakatan yang
tidak terucapkan di tengah-tengah kita. Di sinilah perlu kampanye besar dari
perpustakaan untuk menumbuhkan semangat baca anak dengan gencarnya berkeliling
menjemput bola di mana ada anak-anak, ada buku yang menemani. Alternatif lain yang patut dicoba adalah
perpustakaan di gampóng, tepatnya di meunasah-meunasah sebagai alternatif pusat
baca yang bekerja sama dengan perangkat gampóng pun patut
dijajaki.
Siti
Sarayulis, S.I.Kom., M.A
Guru
SD Sukma Bangsa Lhokseumawe
Email:
Yulishasanuddin@gmail.com