Thursday, September 14, 2017

Banyak Jalan Menuju Roma


(1) Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (sekalian makhluk), (2) Ia menciptakan manusia dari segumpal darah; (3) Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, (4) Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, (5) Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S.  Al-‘Alaq, 1-5)

Stimulan yang paling ampuh terdapat dalam Al Quran, sumber pedoman bagi kita umat Islam, yaitu Iqra! (bacalah!). Betapa pentingnya perintah ini, sehingga wahyu yang diterima oleh Rasulullah pertama kali pun agar diserukan  kepada seluruh umat manusia adalah membaca. Banyak juga pencerahan-pencerahan terkait  membaca, diantaranya; membaca membuka jendela dunia. Ungkapan lainnya dari Hazel Rochman; “membaca membuat kita semua menjadi imigran, Ia membawa kita jauh dari rumah, tapi lebih penting lagi ia menemukan rumah bagi kita di mana saja.” Benar!!! satu lembar buku yang dibaca setiap hari akan melahirkan begitu banyak pengetahuan yang tidak pernah kita bayangkan.
Banyak tahapan proses yang harus dilalui oleh setiap individu hingga mencapai kemampuan untuk memahami bacaan yang dibaca. Bahkan memerlukan waktu yang lebih lama lagi untuk mengaplikasikan apa yang dibaca. Untuk mencapai hal ini, pemerintah mencanangkan 8 September sebagai hari Aksara disamping penetapan program wajib belajar 9 tahun. Sejak tahun 2005, program ini telah menjadi perhatian guna memberantas rakyat yang masih buta huruf. Memang objek dari kegiatan fungsional ini diproritaskan untuk yang berusia 17 hingga 30 tahun dengan karakteristik; kemampuan nalar dan motivasi untuk belajar yang masih rendah, kesibukan yang tinggi sehingga tidak memungkinkan untuk mengikuti pendidikan dengan jadwal yang ketat, dan ada keinginan untuk perbaikan dirinya dengan mengikuti kegiatan ini secara suka rela.
Kilas Balik Perjalanan
Tepat pada perayaan Hari Aksara Internasional ke 50 di Subulussalam 2016 lalu, 2017 ini diharapkan seluruh masyarakat melek huruf. UNESCO (Organisasi PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan) mendefinisikan melek aksara sebagai “kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan cetak dan tulisan yang berkaian dengan berbagai situasi.” Pada tahun 2010 terdapat 95.21 % penduduk Aceh yang berusia 15-59 tahun sudah melek huruf. 4 tahun kemudian, tahun 2014, peningkatan rakyat yang melek huruf menjadi 96.3 %. Jika pada 2014, 2.5 % warga Aceh buta aksara, pada 2017 hanya 1.75 %. Ini menunjukkan ada penurunan yang signifikan terhadap jumlah buta aksara di Aceh dibanding tahun sebelumnya (Antara Aceh, 10 November 2015).
Hal ini berbanding terbalik dengan fenomena melek huruf Alquran di Aceh. Terungkapnya 82 %  mahasiswa baru Universitas Syiah Kuala tak bisa baca Quran (Serambi, 28 Juli 2015). Hal ini sangat memprihatinkan di bumi seuramoe mekkah ini. 99.99 % penduduknya notabene beragama islam dan Al Quran lah sebagai tuntutan dan acuan hidup umat manusia yang beragamakan islam. Bahkan,  dengan budaya “jak beut atau jak meudagang” di Aceh yang sudah dibiasakan sejak dahulu seyogyanya kemerosotan ini bisa dihindari. Namun, kenyataannya, kebiasaan yang mendarah daging sejak dari nenek-kakek terdahulu hingga sekarang untuk menuntut ilmu akhirat, dimana dalam kegiatan ini ada satu orang ‘alim (lebih tahu), yang sering dipanggil dengan teungku (guru) yang membaca kitab sesuai tingkatan pemahaman muridnya pun tidak mampu menggugah naluri beberapa generasi tentang betapa pentingnya pendidikan.
Terlepas dari itu semua, kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran pun harus dijadikan pertimbangan. Hak anak untuk bermain jangan sampai terabaikan hanya karena obsesi orang tua untuk mencerdaskkan anak sejak dini. Sehingga usia anak belum 6 tahun sudah mulai diwajibkan untuk bisa baca dan tulis. Kesiapan anak di bangku sekolah dasar pun dijadikan alasan. Esensinya, bukan kemampuan baca tulis yang harus dijejali kepada anak. Namun, sebelum mulai menempuh pendidikan formal di sekolah dasar, hendaknya orang tua memastikan anaknya mempunyai kemampuan sosial atau interpersonal dan kepercayaan diri yang tinggi; bermain dengan teman sebayanya, menjalin komunikasi yang bagus, dan berani menyampaikan pikiran-pikiran dan ide-idenya  sebagai modal awal untuk menempuh pembelajaran yang sukses di masa depan (Tansey: 2008).
Prospek ke Depan
            Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memastikan generasi saat ini dan masa depan siap untuk menghadapi tantangan global. Perbaikan di tingkat sosial dan ekonomi Aceh ini pun akan ikut berkembang jika pendidikannya berkualitas. Pemberantasan buta huruf hingga mencapai titik nihil harus digalakkan. Bukan hanya pemerintah saja dengan program wajib belajar 9 tahun-nya, instansi-instansi pendidikan pun harus bekerja sama giatnya. Calon-calon sarjana, seperti mahasiswa sebagai agent of change (agen perubahan) yang pada titik akhir sebelum menyelesaikan pendidikan sarjananya pun bisa ikut membantu. Melalui program pengabdian masyarakat atau lebih dikenal dengan sebutan KKN (Kelompok Kerja Nyata), para mahasiswa bisa turun ke gampóng-gampóng untuk mengabdi kepada masyarakat dengan membina sekolah-sekolah tenda. Dalam konsep sekolah tenda ini, keberlanjutan dan konsisten adalah kunci keberhasilannya. Setelah gelombang KKN pertama selesai, gelombang selanjutnya pun semestinya melanjutkan program kerja sebelumnya. Sehingga, tidak harus selalu memulai dari nol.  Jangan seperti kebiasaan sekarang ini, begitu selesai memenuhi kredit semester, selesai pula programnya, sehingga tidak ada konsistensi dan keberlanjutan. Kenapa harus memulai dari nol, jika bisa dilanjutkan dengan memulai dari angka satu???
            Kalahnya pamor buku dibanding gadget di tengah anak pun mejadi tantangan. Mahalnya harga buku?? Mudahnya akses internet??? Repotnya menjinjing buku dibanding gadget???. Itu sekelumit pertanyaan retoris, namun secara tidak sadar menjadi kesepakatan yang tidak terucapkan di tengah-tengah kita. Di sinilah perlu kampanye besar dari perpustakaan untuk menumbuhkan semangat baca anak dengan gencarnya berkeliling menjemput bola di mana ada anak-anak, ada buku yang menemani.  Alternatif lain yang patut dicoba adalah perpustakaan di gampóng, tepatnya di meunasah-meunasah sebagai alternatif pusat baca yang bekerja sama dengan perangkat gampóng pun patut dijajaki.
Siti Sarayulis, S.I.Kom., M.A
Guru SD Sukma Bangsa Lhokseumawe

Email: Yulishasanuddin@gmail.com