Saturday, November 25, 2017

Tanyoe Jameun Hana Lagê Nyoe


Suatu keniscayaan menjadi guru adalah suatu anugerah. Namun, pada prakteknya sebagian ada yang merasa profesi ini menjadi bencana, karena setelah ditekuni, si guru merasa tidak betah dengan profesinya. Jadi, hanya berkisar pada jam masuk  pukul 07.30 dan kembali ke rumah ketika tiba waktu bubar sekolah. Pada kasus lainnya,  sebagian menjadi guru merupakan  suatu accidental  atau kebetulan belaka. Namun, selama proses penjajakan, si guru yang bukan dari sarjana pendidikan merasa awet dengan profesi tersebut karena merasa passionnya di situ. Pada ke dua masalah ini, guru manakah yang lebih baik? Guru yang punya sarjana keguruan, namun mengajar karena tidak ada profesi lain yang mumpuni atau guru yang tidak pernah mencicipi bangku kuliah kependidikan, namun mengajar dengan sepenuh hati dan dedikasi?
            Ketika menekuri pertanyaan ini untuk memperoleh jawabannya, terkenang kembali masa lampau. Pada tahun 1990-an di Aceh, anak-anak yang sudah berusia 6 atau 7 tahun sama halnya seperti anak-anak sekarang sudah mulai disekolahkan ke sekolah formal. Pada usia 5 tahun, sebagian anak-anak pada masa itu sudah termotivasi untuk sekolah karena melihat kawan-kawan sepermainannya sudah mulai sekolah, jadi orang tua pada saat itu meminta anak-anaknya untuk menjulurkan tangan kanan melalui kepala bagian atas untuk memegang telinga kiri, jika tangan kanan sudah bisa menjangkau telinga kiri, si anak akan diimingi untuk bisa langsung mulai sekolah. Sepulang dari sekolah pukul 12 atau paling telat pukul 13.00 di Sekolah Dasar, mereka akan diantarkan oleh orang tuanya atau mengayuh sepeda untuk ngaji di balê-balê. Pengajarnya bukan lulusan keguruan, tapi para teungku tanpa ijazah pendidikan ini hanya berbekal keyakinan bahwa pentingnya memapah generasi ini menjadi generasi Qurani. Apakah mereka dibayar mahal? Apakah ada tunjangannya? Jawabannya tentu tidak, hanya berbekal bue leukat dan peureutêk ie ôn yang diantarkan oleh orang tua ketika pertama kali didaftarkan.

Beureukat bak Gurê
Ali radhiyallahu 'anhu berkata:"Sayalah menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan, ataupun tetap menjadi hambanya". Jika ditelisik sekarang dan dulu, banyak perbedaan yang kita lihat. Esensi yang dulu bisa kita lihat secara kasat mata sudah agak langka di masa sekarang. Serba instant, serba mudah, dan serba segala. Keserbaan ini besar tumbalnya. Generasi sekarang tidak perlu bersusah payah untuk memperoleh sesuatu, sehingga rasa menghargainya pun kurang. Akibatnya, rasa syukur berkarat, berkat pun sekarat. Betapa banyak sekarang guru yang mengelus dada hanya karena melihat tingkah siswanya. Perbincangan di tengah guru pun kadang tak terlepas dari pernyataan “tanyoe jameun hana lage nyoe (dulu kita tidak seperti ini)” ketika melihat siswanya bertingkah di luar batas kesanggupannya untuk bisa mencari solusi.
            Nah, sekarang lebih dari  satu huruf yang diajarkan seorang pendidik, bermacam sumber digali oleh guru, berbagai training difasilitasi agar guru bisa mendidik sesuai tuntutan. Dengan jumlah siswa yang maksimal saat ini 30 orang setiap kelasnya jika dibandingkan dengan dulu yang bisa mencapai 40 orang. Menjadi hal yang mengenaskan ketika efek didikan yang diterima oleh anak didik masih belum 100 % dan hanya seuntai doa yang menjadi senjata terakhir ketika usaha sudah dilakukan maksimal oleh pahlawan tanpa tanda jasa ini.
Memang tidak bisa dipungkiri, keberkatan dari seseorang yang kita panggil guru merupakan suatu keharusan agar kebermanfaatan ilmu itu dapat kita cicip. Benar apa yang dibilang oleh Imam Syafi’I bahwa ilmu itu umpama Nur  dan Nurullah ini tidak diberikan kepada orang yang melakukan maksiat. Maksiat di sini bukan hanya melakukan perbuatan haram, tapi membantah guru,  membolos sekolah, mencontek, dan perbuatan khilaf kecil lainnya yang pada aturan sekolah sudah dilarang merupakan kategori maksiat dalam konteks pendidikan. Pembudayaan cetusan “peraturan kan dibuat untuk dilanggar” di tengah-tengah kita sama saja dengan bentuk persetujuan terhadap lahirnya benih-benih pembangkang dan penyangkal kebenaran.

Kiprah Seorang Guru
Betapa banyak profesi yang dilahirkan oleh seorang guru. Bermula dari seorang guru, lahir lah guru-guru lainnya, dokter-dokter,  para ahli hukum, analis perbankan, dan orang-orang yang benar-benar orang lainnya. Profesi guru merupakan bakat alami yang patut disyukuri. Memang semua orang bisa menjadi guru, tapi tidak  sembarang guru mampu menjadi guru sesungguhnya. Sudah menjadi pengakuan tak terucap, jika menjadi guru artinya tanggung jawabnya adalah mencerdaskan bangsa. Namun, pada hakikatnya tugas guru bukan hanya mengajar dengan mentransfer ilmu, tapi lebih kompleks dari itu; guru itu pendidik, guru itu orang tua ke dua yang penuh perhatian kepada anak didiknya; yang bersedia menyisiri rambut siswanya di sekolah, memotongkan kuku anak didiknya, menjahitkan kancing baju anak didiknya jika ada yang terlepas, memasukkan dasi ke kerah baju jika miring posisinya, meluruskan posisi jelbab jika siswinya terburu-buru berangkat dari rumah, dan kegiatan-kegiatan kecil lainnya agar anak didiknya terlihat rapi jali, tampan, dan cantik.
            Hari ini tepat 25 November merupakan momentum yang tepat bagi kita yang pernah menjadi murid dan mempunyai guru-guru, orang tua yang anaknya dididik oleh para guru, dan murid yang mempunyai guru-guru untuk merenungi hal apa yang sudah kita lakukan untuk membalas jasa mereka  sehingga ilmu yang mereka berikan akan benar-benar menjadi ilmu yang bermanfaat dan menjadi salah satu amal jariah bagi mereka yang tidak pernah terputus pahalanya. TERIMA KASIH PARA PAHLAWAN KU.

Siti Sarayulis, S.I.Kom., M.A.
Penulis  Hanyalah Seorang  Murid yang Sekarang Menjadi Guru SDS Sukma Bangsa Lhokseumawe

Email: yulishasanudddin@gmail.com