Suatu keniscayaan
menjadi guru adalah suatu anugerah. Namun, pada prakteknya sebagian ada yang
merasa profesi ini menjadi bencana, karena setelah ditekuni, si guru merasa
tidak betah dengan profesinya. Jadi, hanya berkisar pada jam masuk pukul 07.30 dan kembali ke rumah ketika tiba
waktu bubar sekolah. Pada kasus lainnya,
sebagian menjadi guru merupakan
suatu accidental atau kebetulan belaka. Namun, selama proses
penjajakan, si guru yang bukan dari sarjana pendidikan merasa awet dengan
profesi tersebut karena merasa passionnya
di situ. Pada ke dua masalah ini, guru manakah yang lebih baik? Guru yang punya
sarjana keguruan, namun mengajar karena tidak ada profesi lain yang mumpuni
atau guru yang tidak pernah mencicipi bangku kuliah kependidikan, namun mengajar
dengan sepenuh hati dan dedikasi?
Ketika menekuri pertanyaan ini untuk
memperoleh jawabannya, terkenang kembali masa lampau. Pada tahun 1990-an di
Aceh, anak-anak yang sudah berusia 6 atau 7 tahun sama halnya seperti anak-anak
sekarang sudah mulai disekolahkan ke sekolah formal. Pada usia 5 tahun,
sebagian anak-anak pada masa itu sudah termotivasi untuk sekolah karena melihat
kawan-kawan sepermainannya sudah mulai sekolah, jadi orang tua pada saat itu
meminta anak-anaknya untuk menjulurkan tangan kanan melalui kepala bagian atas untuk
memegang telinga kiri, jika tangan kanan sudah bisa menjangkau telinga kiri, si
anak akan diimingi untuk bisa langsung mulai sekolah. Sepulang dari sekolah
pukul 12 atau paling telat pukul 13.00 di Sekolah Dasar, mereka akan diantarkan
oleh orang tuanya atau mengayuh sepeda untuk ngaji di balê-balê. Pengajarnya bukan lulusan keguruan, tapi para teungku tanpa ijazah pendidikan ini
hanya berbekal keyakinan bahwa pentingnya memapah generasi ini menjadi generasi
Qurani. Apakah mereka dibayar mahal? Apakah ada tunjangannya? Jawabannya tentu
tidak, hanya berbekal bue leukat dan peureutêk ie ôn yang diantarkan oleh
orang tua ketika pertama kali didaftarkan.
Beureukat bak Gurê
Ali
radhiyallahu 'anhu berkata:"Sayalah menjadi hamba sahaya orang yang telah
mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan,
ataupun tetap menjadi hambanya". Jika ditelisik sekarang dan dulu, banyak
perbedaan yang kita lihat. Esensi yang dulu bisa kita lihat secara kasat mata
sudah agak langka di masa sekarang. Serba instant, serba mudah, dan serba
segala. Keserbaan ini besar tumbalnya. Generasi sekarang tidak perlu bersusah payah
untuk memperoleh sesuatu, sehingga rasa menghargainya pun kurang. Akibatnya,
rasa syukur berkarat, berkat pun sekarat. Betapa banyak sekarang guru yang
mengelus dada hanya karena melihat tingkah siswanya. Perbincangan di tengah
guru pun kadang tak terlepas dari pernyataan “tanyoe jameun hana lage nyoe (dulu kita tidak seperti ini)” ketika
melihat siswanya bertingkah di luar batas kesanggupannya untuk bisa mencari
solusi.
Nah, sekarang lebih dari satu huruf yang diajarkan seorang pendidik,
bermacam sumber digali oleh guru, berbagai training difasilitasi agar guru bisa
mendidik sesuai tuntutan. Dengan jumlah siswa yang maksimal saat ini 30 orang
setiap kelasnya jika dibandingkan dengan dulu yang bisa mencapai 40 orang.
Menjadi hal yang mengenaskan ketika efek didikan yang diterima oleh anak didik
masih belum 100 % dan hanya seuntai doa yang menjadi senjata terakhir ketika
usaha sudah dilakukan maksimal oleh pahlawan tanpa tanda jasa ini.
Memang
tidak bisa dipungkiri, keberkatan dari seseorang yang kita panggil guru
merupakan suatu keharusan agar kebermanfaatan ilmu itu dapat kita cicip. Benar
apa yang dibilang oleh Imam Syafi’I bahwa ilmu itu umpama Nur dan Nurullah ini tidak diberikan kepada orang
yang melakukan maksiat. Maksiat di sini bukan hanya melakukan perbuatan haram,
tapi membantah guru, membolos sekolah,
mencontek, dan perbuatan khilaf kecil lainnya yang pada aturan sekolah sudah
dilarang merupakan kategori maksiat dalam konteks pendidikan. Pembudayaan
cetusan “peraturan kan dibuat untuk dilanggar” di tengah-tengah kita sama saja
dengan bentuk persetujuan terhadap lahirnya benih-benih pembangkang dan
penyangkal kebenaran.
Kiprah
Seorang Guru
Betapa
banyak profesi yang dilahirkan oleh seorang guru. Bermula dari seorang guru,
lahir lah guru-guru lainnya, dokter-dokter,
para ahli hukum, analis perbankan, dan orang-orang yang benar-benar orang lainnya. Profesi guru merupakan
bakat alami yang patut disyukuri. Memang semua orang bisa menjadi guru, tapi tidak sembarang
guru mampu menjadi guru
sesungguhnya. Sudah menjadi pengakuan tak terucap, jika menjadi guru artinya
tanggung jawabnya adalah mencerdaskan bangsa. Namun, pada hakikatnya tugas guru
bukan hanya mengajar dengan mentransfer ilmu, tapi lebih kompleks dari itu;
guru itu pendidik, guru itu orang tua ke dua yang penuh perhatian kepada anak
didiknya; yang bersedia menyisiri rambut siswanya di sekolah, memotongkan kuku
anak didiknya, menjahitkan kancing baju anak didiknya jika ada yang terlepas,
memasukkan dasi ke kerah baju jika miring posisinya, meluruskan posisi jelbab
jika siswinya terburu-buru berangkat dari rumah, dan kegiatan-kegiatan kecil
lainnya agar anak didiknya terlihat rapi jali, tampan, dan cantik.
Hari ini tepat 25 November merupakan
momentum yang tepat bagi kita yang pernah menjadi murid dan mempunyai
guru-guru, orang tua yang anaknya dididik oleh para guru, dan murid yang
mempunyai guru-guru untuk merenungi hal apa yang sudah kita lakukan untuk
membalas jasa mereka sehingga ilmu yang
mereka berikan akan benar-benar menjadi ilmu yang bermanfaat dan menjadi salah
satu amal jariah bagi mereka yang tidak pernah terputus pahalanya. TERIMA KASIH
PARA PAHLAWAN KU.
Siti Sarayulis, S.I.Kom., M.A.
Penulis Hanyalah
Seorang Murid yang Sekarang Menjadi Guru
SDS Sukma Bangsa Lhokseumawe
Email: yulishasanudddin@gmail.com